http://rapmengkel.com

blogg ini telah dikembangkan

dengan senang hati, aq sampaikan

karpet merah telah dibentangkan di

http://rapmengkel.com

rumah baru

dengan bantuan yang sangat besar dari seseorang, akhirnya blogg rapmengkel menempati rumah baru

mohon doa dari rekan sekalian, agar melalui rumah baru ini aq dapat meningkatkan kontribusiku dalam melayani, selanjutnya alamat rumah baruku ada di :

http://rapmengkel.com

bung kas

idul fitri sudah semakin dekat ….

di kala bulan semakin menutupi diri, menghindar dari tatapan kosong dari mereka yang masih berpikir tentang apa yang akan mereka perbuat agar anak-anaknya turut bergembira esok

di saat tokoh-tokoh bangsa saling berbicara tentang tragedi kemiskinan pasuruan

di saat karyawan pjka sibuk mengatur jadwal petugas piket di stasiun maupun di gardu

di saat ibu-ibu petinggi polisi kita sibuk bersafari say hello kepada petugas di jalanan

dan di saat kesibukan lain dari orang lain untuk keperluan lain dan di tempat lain …

rapmengkel, malah sibuk berbenah untuk bungkas -hijrah-

dengan semangat baru, penampilan baru dan nuansa baru

mohon duaratus .. eh maaf ; doa restu maksudnya ….

debt collector

“Horas Lae…”, suara itu mengejutkanku dari balik pagar rumah.

Ternyata suara itu datang dari dua orang pengendara sepeda motor berpakaian lapangan lengkap: jacket, helm, kacamata dan sarung tangan membuatku tidak langsung dapat mengenali mereka.

Tanganku yang masih belepotan dengan serbuk pakis kukibaskan seadanya saja, saya segera membuka pagar.

“Ba, horas … Lae Manalu do hape ?” sapaku setelah helm teropong di lepas dari kepalanya.

“Ayo masuk Lae ….” ajakku sambil kurapikan posisi pot anthurium yang masih berantakan di terras rumah. Memang kebetulan sore itu aku menyempatkan diri mengganti pot “wafe of love” – gelombang cinta yang sudah terlihat kecil dibandingkan tanamannya.

“Udah lah Lae, di sini aja. Lae teruskan aja kerjaannya…., kami kebetulan lewat koq” kata Lae si Manalu yang tidak merasa sungkan lagi langsung mengambil kursi dari dalam rumah.

“Kalau gitu, kita ngopi disini aja ya ?” kataku sambil teriak arah ke dalam rumah agar dibuatkan kopi tiga gelas.

“Kalian darimana ?” tanyaku memulai pembicaraan

“Ah Lae, dasar sial kami hari ini…” jawab Manalu sambil tertawa melirik mitranya yang juga orang Batak.

“Sudah tiga order yang kami kunjungi sore hari ini”,  Manalu mulai bercerita.

Yang pertama tadi ; seorang kakek tua yang melayani kami. Jawabannya hanya dengan kata-kata “mboten sumerap……..”, “sanes kula…….” gak tau apa lagi yang dia bilang tadi itu. Palak pun aku dibuatnya, saya banting pintunya saya suruh anaknya supaya telpon ke Flexiku.

“Ha ha ha, Ayo, minum dulu kopinya…, jangan bawa marahmu ke sini”, aku mencoba menetralisir emosinya, dan dia sambut dengan mengangkat gelas panas sambil tertawa.

Yang kedua tadi….., katanya melanjutkan . Kartu Nama seorang Pengacara lah dikasi sama aku. Katanya, dia sudah melimpahkan persoalan ini kepada Pengacara itu. Baahh…, paling juga duaratus ribu dapatku dari sini, masya aku harus berurusan dengan Pengacara. Kubilanglah sama dia :” Bilang sama Pengacaramu itu, gak usah ngurus tagihan seperti ini. Karena biar bagaimana pun, kau yang punya utang dan kau harus bayar utangmu itu….”, semakin terlihat rona kekesalan di wajahnya.

Trus yang ketiga, isterinya yang melayani kami. Melihat dari caranya melayani kami, kayaknya bukan pertama kali ini mereka didatangi oleh teman seprofessi kami. Dia diam membisu, dengan muka tak bersahabat.

“Hey, Bu…, janganlah dongok gitu mukamu.  Panggil suamimu untuk menyelesaikan ini. Dan Ibu gak perlu membohongi kami, karena kami tadi sudah melihat suamimu masuk ke rumah…”

Isterinya beranjak ke kamar. Tak lama kemudian, dia keluar …. masih sendiri.

“Mana suamimu Bu, yang gak beraninya dia keluar ?  Kalau mengutang berani, kalau mau bayar takut. Atau kau yang mau dikorbankan suamimu untuk melayani penagih seperti kami?” aku bertanya agak kasar….

Trus Lae…., katanya mengalihkan pembicaraan ke arahku.  Tiba-tiba mataku tertuju kepada sebuah pigora di dinding. Aku bacalah pigora itu, ternyata …., Tarombo – daftar silsilah –  hula-hulaku.

Aku ajak lah Lae ini segera keluar, sebelum suaminya benar-benar keluar. Kenapa berkasnya tidak menyebut marga ? Kenapa aku harus kebagian berkas ini ?

Dari situlah kami terus ke rumah ini Lae …, buang sial lah sambil minum kopi .., katanya mengakhiri ceritanya.

be el te

Dengan rasa prihatin setelah menyaksikan acara televisi pagi ini, saya berangkat ke kantor agak terlambat. Sejak tadi malam, secara berulang-ulang dan mungkin oleh seluruh stasiun televisi yang tertangkap di rumahku menayangkan tragedi kemiskinan di Pasuruan. Masih terbayang di benakku, wajah-wajah renta ibu yang berhimpitan, kehabisan nafas untuk mendapatkan tigapuluh ribu …

Tiba-tiba mataku tertegun melihat Ny. Sm boru Na berdiri di antara kerumunan manusia yang antri di depan sebuah Kantor Pos tidak jauh dari rumahku.

Dengan berpakaian seadanya tanpa polesan bedak di wajah, tak mampu mengelabui mata orang yang memandang bahwa Ny. Sm bukan termasuk kelompok penerima be el te. Nyatanya, saya melihat dia menggenggam berkas tebal di tangannya, turut antri dengan sabar.

“Ngapain ito ?”, tanyaku mengejutkannya.

“Oh Ito, baru mau berangkat kerja ya ?” dia membalas .

“Ito ikut antri tah, sejak kapan jadi fakir miskin ?” tanyaku bercanda sambil melirik tumpukan gelang keroncong di tangannya.

“He he, nggak lah Ito. Ini loh, mau cairkan berkas orang-orang ini ….” jawabnya sambil menunjukkan sebanyak 17 berkas pencairan be el te .

“Lho, ito dapat dari mana koq sampai ada 17 ?” ( sejujurnya aku heran, tadinya bukan niat untuk investigasi)

“Oooo, sebenarnya lebih Ito. Sebagian kemarin udah. Ini yang kebagian hari ini.” jawabnya menjelaskan.

“Emang punya siapa, koq jadi Ito yang antri ?”

“Kan orang-orang ini udah pake uangku bulan lalu …..”, demikian Ny. Sm menjawab membuatku mulai paham maksudnya.

“Sorry Ito, ingin tau aja nih : bagaimana ito membuat aturan mainnya?”

“Setiap nilai seratus ribu, saya bayarkan delapan puluh ribu. Samalah dengan yang tahun lalu”, jawab ito ini dengan lancarnya.

“Jadi udah mulai tahun lalu ito kerjakan ini. Jeli juga ito membaca peluang ya ?” tanyaku memuji.

“Ya ialah ito, habis kalau dengan Kartu Pensiun agak rumit pencairannya………….” dengan senyum bangga dia menjelaskan.

“Maaf lah ito, aku hanya bayangkan ketika ito mengundang kami natalan di gerejamu. Ito begitu bersemangat menyampaikan agar kita lebih peduli kepada masyarakat kecil, dan kita tidak punya hak untuk memeras mereka karena mereka juga makhluk Tuhan…” kata-kata ini tidak mampu keluar dari mulutku sambil ku beranjak naik ke mobil melanjutkan perjalananku ….

Pakpahan (Ny) – in memoriam

Mingu-minggu yang cukup melelahkan buatku.

Masih mencoba merapikan catatan “Ulaon Saur Matua” SP. Nainggolan, Sabtu – Minggu kemarin mengikuti anak Remaja HKBP Surabaya retreat di Pacet – Mojokerto.

Minggu 14 Sept jam 8.00, ada sms masuk di Flexiku ; “Ny. Pakpahan boru Togatorop meninggal; hamu sebagai Hula-hula Anak Manjae”

Terasa agak lelah, setelah dihajar anak remaja dengan mengundurkan jam tidur menjadi jam 2.30 dinihari ; Minggu malam saya sempatkan juga untuk ikut Pangarapotan.

“Ulaon saur matua Maulibulung ma dipangido rohanami Rajanami” – Acara pemakaman graduate tertinggi di Batak – itulah permintaan Pihak Marga Pakpahan dalam acara Temu Tetua Adat.

Saya mencoba menyimak data almarhum yang dibacakan oleh protokol :

Usia 68 tahun (masih relatip muda untuk acara setinggi itu), dengan jumlah keturunan 119 orang meliputi anak, putri, menantu, cucu dan cicit …..

Disebutkan kemudian Kelompok Marga yang menjadi Hula-hula dan Tulang : Gultom menempati 6 posisi, Togatorop sebagai Hula-hula tangkas, Silaban, Sihombing, Pasaribu, Siregar dan ada beberapa marga lagi yang blom sempat saya catat.

Yang agak menarik dari daftar Hula-hula maupun Tulang ini, ternyata tak satupun dari pihak marga Pangaribuan, meskipun mereka berasal dari huta Pangaribuan.

Agak alot negosiasi antar Pakpahan dengan Togatorop tentang saput yang oleh Pakpahan agar Tulang Rorobot Siregar lah yang memberikan ….; tapi dengan  toleransi yang tinggi hal itu dapat diterima oleh Togatorop.

“Bang, koq Bona Tulang ada 2 ?” tanya seorang Pemuda yang betah ngikuti acara itu.

“Lagian , masih 68 tahun koq turunannya mencapai 119 orang ?” lanjutnya bertanya.

Aku mencoba dekati Togar Silaban Partaolobutala yang pada saat itu menempati posisi sebagai Bona Tulang, ingin mengklarifikasi keberadaan 2 marga sebagai Bona Tulang. 

Ternyata beliau juga belum dapat konfirmasi …

“Yang penting, besok bawa ulos dan beras lah ….., Togar menjawab sambil kebingungan …

Yaaahhhh…., tersita juga waktuku untuk konsentrasi ke suasana mengkellllll……

Fajar Siahaan

“Saat kita dilahirkan di dunia ini, kita menangis ….., dan orang orang yang menyambut kelahiran kita , mereka semua tertawa.”

Demikian untaian kata pembukaan dari Amang Fajar Siahaan dalam sambutannya di acara pemberangkatan jenazah Amang S.P. Nainggolan.

Amang Fajar Siahaan yang lama menjabat sebagai Kakanwil Pajak Jawa Timur ini sengaja datang dari Kalimantan, mengingat hubungan kekerabatan warga asal Sibolga di Surabaya, dan oleh komunitas mereka, beliau didaulat untuk menyampaikan sambutan.

“Selama kita hidup di dunia ini, tawa dan tangis silih berganti sebagai dinamika hidup. Kita saling menertawakan dan kadang kita saling menangisi … “ imbuh Amang Fajar berfilsafat.

“Yang saya lihat hari ini, wajah Om Nainggolan ( pengakuan beliau, panggilan Om lah yang dia gunakan selama ini kepada almarhum S.P. Nainggolan ) dalam keadaan cerah , tertawa pergi memenuhi panggilan Tuhannya meninggalkan kita…., sedangkan kita ? Anak-anaknya, sanak keluarga, teman dan handai tolan dipenuhi oleh isak tangis ….”

“Lucukah ?” tanya Amang Fajar sambil melepas pandangan ke sekeliling seolah ingin mendapat jawaban dari hadirin.

“Tidak …, tidak ada yang lucu dalam kejadian itu. Yang lucu nanti setelah Om ini kita antar ke pemakaman …”

“Yang terjadi di kita Batak, biasanya setelah jenazah dimakamkan semua anak-anaknya baik laki maupun perempuan mengaku sudah berbuat lebih banyak kepada orangtuanya dan lebih berhak atas harta peninggalan orangtuanya.”

“Marsigulut dan Marbadai.”

“Saya tak mengharap kejadian itu menjadi akhir dari drama kehidupan Om Nainggolan….” Demikian Amang Fajar mengakhiri sambutannya.

Ah…, gak percuma Amang Fajar ini dapat gelar Doktor …….

Nainggolan S.P (In Memoriam)

Sahat Parulian Nainggolan, pada 11 Mei 2008 yang lalu dia genap berusia 80 tahun. Senin, 8 September 2008 jam 19.10 jatah hidupnya di dunia ini diakhiri oleh yang Maha Kuasa.

Mengingat usia yang sudah lanjut, dan ketujuh putra/putrinya sudah menikah sudah sewajarnyalah Ulaon Gabe; Ulaon Saur Matua disepakati oleh Pihak Nainggolan dengan Hula-hulanya Sitompul dilaksanakan dalam acara pemakaman beliau.

Hadir dalam acara itu Ny. Hutagalung/ Nancy Sitompul – salah seorang personil Sitompul Sisters -, karena memang Amang Nainggolan adalah Paribannya, sedangkan Mona Sitompul tidak bisa hadir karena ada gangguan kesehatan pada Tobing suaminya.

Acara demi acara berjalan mulai hari Senin hingga Kamis, hari pemakaman, yang juga dibumbui dengan lantunan suara merdu dari Bonar Gultom (Gorga)..

Silih berganti handai tolan datang, dan secara bergantian juga pihak keluarga Nainggolan yang diwakili anak-anak beliau melayani dan mengucap terima kasih.

Tidak mengherankan, bila anak-anak almarhum banyak berkonsultasi kepada Marga Sitompul, karena Marga Sitompul dalam acara itu menempati 4 posisi terhormat : Bona ni Ari, Hula-hula tangkas, Hula-hula Na Marhahaanggi, dan Hula-hula Anak Manjae.

Di samping itu, anak-anak beliau dan beberapa keluarga yang lain sudah tidak familiar lagi dengan kebatakan baik tata adat maupun bahasanya. Hal ini bisa dimaklumi karena gaya hidup Amang Nainggolan masih sedikit ke-belanda2 an dan perlente habis.

Saat ngobrol-ngobrol tidak resmi, anak-anak Amang Nainggolan diberi penjelasan mengenai jumlah ulos agar mereka dapat mengatur siapa saja nanti yang akan menerima saat Ulaon Adat.

“Mauliate ma Amang…” – Terima kasih lah Amang – , demikian salah satu anggota keluarga setelah merasa penjelasan yang diterima sudah cukup.

“Nunga mohop ate-ate nami ala diajari hamu hami …..” (Nunga las = mohop , ate-ate nami = roha nami – Kami gembira karena Amang telah mengajari kami ) lanjutnya dengan sedikit memaksakan berbahasa Batak.

Pande juga kau bahasa Batak ya ????

Simatupang

Saya tertarik melihat papan nama sebuah usaha jasa potong rambut “Simatupang”.

Tadinya, saya hanya ingin cari accesories pancing aja. Kebetulan persediaan mata kail dan pelampung sudah habis. Tapi melihat papan nama tadi, jadi timbul juga niat untuk potong rambut.

“Horas…”, begitu aku menyapa setelah masuk dan duduk di salah satu kursi yang tersedia.

Dia menatapku dengan senyum dan membalas salamku juga dengan kata horas.

Saya tatap tampangnya dengan teliti ketika dia menyelesaikan pasien sebelum aku. Tak sedikitpun tampang Batak tergurat di wajahnya. Gambar atau simbol-simbol di dinding yang terpampang, tak satupun menggambarkan kebatakan. Ada sebuah pigura bertuliskan ayat-ayat suci Al Quran, sebuah photo diri dan tergantung pula sebuah clurit dan sebuah cambuk kecil.

“Mari Pak, silahkan …”, suaranya mengejutkanku. Rupanya pasien sebelum aku tidak mau dipijat sehingga waktunya lebih cepat dari perkiraanku.

“Kau bukan orang Batak ?” tanyaku sambil merapikan posisi duduk.

“Bukan Pak, aku orang Madura ….” jawabnya sambil tersenyum ditahan.

“Bah…, kenapa kau bikin nama Simatupang di depan situ ?” tanyaku penasaran

“Yang melayani panggilannya kau, atau kau suka marjokker ?”. Kucecar dia dengan pertanyaan ini karena umumnya sebutan SIMATUPANG yang saya tau itu adalah SIang MAlam TUnggu PANGgilan …

“Ah bukan Amang …., nama itu udah lama melekat sama saya.”

“Kan dulu saya pernah di Nagojor…” begitu dia melanjutkan penjelasan, karena dia tahu saya sedang penasaran.

“Ngapain kau di Nagojor, bukan di BM -maksudku Bukit Maraja- ?”

Sambil tertawa dia menjawab : ” Memang di Nagojor Amang, tapi pernah juga sih ke BM kalau lagi suntuk ….” (ketahuan juga seleranya)

“Di Nagojor juga dulu professi saya seperti sekarang ini. Karena enaknya berteman dengan orang Batak, ikut2an juga lah aku bikin nama Batak.”

“Maksudmu, kau sudah “diampehon” – dibaiat- marga Simatupang?” tanyaku sambil mebayar jasa potong rambut seperti tarip yang tertera di cermin besar di depanku.

“Belum Amang, dan saya pikir nggak perlu lah. Kan itu hanya sebuah nama …. MArto TUkang PANGkas …, jadi dipanggillah aku SIMATUPANG ….”

Jomblo meeennn

Di lingkungannya, Lambok memang bukan satu-satunya pemuda yang masuk kategori PANGLATU – Panglima Lajang Tua-. Tapi karena statusnya di keluarga sebagai anak pertama, tuntutan agar Lambok segera menikah tetap menjadi topik pembicaraan keluarga.

Dari sisi postur tubuh, dia normal-normal aja, anak sekolahan lagi bahkan sudah membiayai diri sendiri. Latar belakang keluarga ?? Masuk kategori menengah ke atas, bahkan mobil yang dibelikan orangtuanya dengan harapan agar Lambok lebih pede mencari calon pasangan tidak pernah digunakan.

Aktivitas dia di naposo juga tidak kurang-kurangnya, bahkan dia selalu masuk kelompok seksi sibuk setiap ada kegiatan. Tapi tetap aja bukan menjadi ajang menemukan calon yang pas di hatinya ….

Tampak sedikit kelegaan di wajahnya ketika satu saat bapaknya berkata :

“Lambok…, udah bosan pun aku menyuruh kau untuk nikah. Kalau tahun ini kau belum juga  menikah…, aku gak mau ngurus  kau lagi. Kau urus sendirilah nanti pernikahanmu.”

Kayaknya, kata-kata ini malah menambah semangatnya untuk mempertahankan status Jomblo.

Bukan hanya orangtuanya saja yang perduli tentang status si Lambok ini, karena memang Lambok orangnya ramah, sopan dan …. memang dia ikut bapaknya sih “suka ketawa” – heureyan lah bahasa sundanya – Apa alasan Lambok bangga mempertahankan status Jomblo, orang gak ada yang tau.

Saat pernikahan salah satu teman jomblonya, dia tidak bisa mengelak untuk hadir. Karena dia sudah memperkirakan, kata-kata : ” setelah dia, kau menyusullah ya …???” akan membanjir ke arahnya. Dan memang kata-kata seperti itu sudah mulai terdengar sejak 5 tahun yang lalu, bukan hanya dari orang yang lebih muda dari dia, bahkan dari pihak orangtua juga banyak terlontar , membuat dia bosan untuk menghadiri acara pernikahan.

Tapi bukan Lambok kalau gak bisa menikmati ke-jombloannya.

Saat melayat salah satu anggota punguan mereka, Lambok mendekati seorang orangtua yang termasuk orang yang selalu “bertanya” padanya bila ada orang menikah:

” setelah dia, kau menyusullah ya …???”  pertanyaan ini pun terlontarlah dari mulut Lambok.